Di Gedung Tua
Terkisahlah sebuah cerita yang
berasal dari sebuah Desa di sudut kota,
yang terkenal akan kedamaiaanya. Desa ini sangat indah, lingkungannya hijau dan
udaranya masih segar terbebas dari polusi. Di pagi buta, banyak orang yang
pergi ke sawah untuk mencari nafkah. Kehidupan di sini sangat tentram. Di desa
ini terdapat sebuah bangunan yang cukup mencolok. Bangunan bekas Belanda yang
berdiri kokoh.
Bangunan tua bercat merah ini adalah rumah
kami. Rumah keluargaku, keluarga yang cukup terpandang, bukan karena kekayaan,
bukan karena kami artis atau selebritis, bukan juga karena kami pendatang baru
dari luar negri. Ayahku bukan ustadz yang ngetop,
Ibuku bukan seorang Diva yang jago nyanyi. Dan Aku bukan artis ABG yang
sensaional, aku bukanlah siapa-siapa, kami hanyalah keluarga yang biasa-biasa
saja. Lalu apa yang membuat keluarga kami cukup dipandang??
Ternyata keluarga kami terkenal hanya karena
lokasi rumah kami yang berada di sudut utara sebelah kanan perempatan Jalan
yang menuju ke daerah kuburan. Penduduk di sini percaya bahwa di tempat ini,
banyak berkumpul dhemit. Namun kami
yang tinggal di sini tidak merasakan apapun.
Kamarku terletak di sudut kanan
depan rumah kami. Kamarku gelap, sinar matahari tidak bisa menembus kamarku
kecuali saat siang hari. Sirkulasi udaranya pun tidak lancar, kecuali jika Aku
membuka jendela dan pintu kamarku.
Yah, begitulah rumah kami.Rumah
tempat tinggal kami. Bicara soal rumah kami, aku pernah mendapat pengalaman
aneh bin wagu.
Kisah ini dimulai
saat aku masih belia, kira.... pada tahun.....(entah kapan). Pokoknya saat aku
masih kecil, umurku kir-kira sembilan, atau sepuluh tahun, atau mungkin juga
sebelas.
***
Di suatu malam
jum’at kliwon. Aku merasakan hal yang aneh. Aku merasa ada sesuatu yang tidak
beres dengan rumah kami. Malam ini terasa berbeda. Tapi kucoba untuk bersikap
biasa-biasa saja.
Malam sudah sangat larut. Namun, mataku belum juga dapat terpejam. Aku sebenarnya
ingin cepat tidur, agar tidak bangun kesiangan besok. Namun, ugh! Sejak tadi
belum juga Aku merasa mengantuk.
Kupandangi sejenak
sudut-sudut kamarku, kutelusuri setiap inchi tembok kamarku. Tepat di atas
kepalaku terdapat sebuah hiasan, berupa piring yang dihiasi manik-manik batu
akik berwarna hijau yang diambil dari kaki gunung krakatau. (?????) Diameter
setiap inchinya kira-kira 2.5mm, dan pHnya kurang lebih enam. Tingkat keasaman
yang cocok untuk kamarku yang agak basa.
Ugh.... tambah
tidak ngantuk, konsentrasiku justru makin terpacu. Akhirnya kupejamkan lagi
mataku. Kucoba untuk bersikap tenang, kudengarkan suara alam yang sudah mulai
aktif. Jangkrik, hembusan angin, dan sesekali gonggongan anjing.
Krieet..........
Deg! Jantungku berdegup kencang, kecepatannya mencapai 100
Km/jam (lebay). Hormon adrenalinku meningkat tajam, setajam silet!!!!(????)
Seketika suara hembusan angin tidak lagi terdengar, jangkrik dan anjing pun
terdiam.
“Bunyi apa itu? Seperti pintu pagar
depan terbuka. Ah, mungkin ditiup angin.”
Pikirku menenangkan diri.
“Tapi bukankah
pintu pagar dikunci? Tapi, ah... sudahlah. Kurasa itu bukan suara apa-apa.”
Pikirku lagi.
Ckrik.....crick! terdengar bunyi pintu
depan terbuka.
“Pintu depan??
Benarkah?? Aneh!!
Bukankah Bunda tidak pernah lupa menguci pintu? Jangan-jangan...........??” buru-buru Aku menutup tubuhku dengan selimut sampai ke kepala.
Srek...srek...srek.....
“Bunyi apa lagi itu?” Aku menahan nafas agar dapat mendengar lebih jelas. Seperti bunyi
langkah kaki. Terdengar semakin dekat, semakin dekat, dekat dan .........
Clek!
Bunyi ini disusul bunyi kursi yang
digeser. Srek...........
Mungkinkah ada perampok di dalam rumah?
Bulu-buluku seketika berdiri, bulu mana
saja??(o... jangan tanya).
Membayangkannya saja, Aku tidak berani.
Apakah Ayah dan
Bunda tidak terbangun mendengar kegaduhan ini? Pikirku sembari tetap berada di dalam selimut.
Ting...ting..ting.....
Aku tidak dapat menahan diri lagi. Kusingkapkan selimut tebal yang tadi menyelimutinku. Aku menyambar raket badminton di sisi
tempat tidur. Ayah selalu mengajariku
untuk menjadi seorang pemberani. Kalau
benar ada perampok yang berani merampok rumahnku,
silahkan langkahi dulu
mayatku!!(lebay lagi)
Aku bersemangat untuk menangkap perampok itu. Kubetulkan peganganku, agar dapat memukul perampok itu dengan tepat.
Aku menyipitkan mata agar dapat melihat
lebih jelas dalam kegelapan. Perlahan, kubuka
pintu kamar dan mengintip ke luar. Hatiku berdebar kencang, kencang sekali, amat sangat kencang. Khawatir yang ku duga benar adanya. Aku
berjalan secara perlahan-lahan untuk menjaga agar langkah kakiku tidak terdengar.
Perlahan aku sudah
mencapai ruang tamu.
“Hmm.....ruang tamu kosong” aku bergumam. Bunyi-bunyi itu masih terdengar dari arah dapur.
“Astaga! Apa itu??
Dalam keremangan ruang dapur, Aku melihat sosok putih
sedang duduk di lantai. Bulu kudukku sontak berdiri. Apakah
yang dilihatku dalam keremangan adalah manusia? Ataukah hantu?
Badannya tegap dan
kekar, apa itu dhemit?? Genderuwo??
Tapi warnanya kan putih?? Bukanya gunderuwo itu hitam?? Atau mungkin
Kuntilanak, tapi masa’ badanya kekar??
Pikiranku bergelayut tidak keruan. Kakiku
gemetar. Namun, instingku menyuruhku untuk tetap maju. Rasa penasaranku lebih
besar dari pada ketakutanku. Kemudian kulihat
sosok itu berdiri mendekati pintu lemari dapur. Rupanya ia ingin mengambil
sesuatu. Tapi apa? Setahu Aku tidak ada barang berharga yang Ayah
Bunda simpan di lemari dapur, hanya makanan yang masih tersisa tadi malam agar
tidak dimakan kucing atau tikus.
Jatungku berdetak lebih kencang. Kupasang kuda-kuda, siap menyergap sosok misterius itu. Aku
bermaksud melumpuhkan sosok itu supaya rumahku aman. Langkah demi langkah kususun, kua ambil nafas panjang. Dalam hati aku pun berdo’a. Namun........
Cring....cring....
Ups...itu bunyi pisau yang bergesekan. Aku
sering mendengarnya saat Bunda menggesekkan dua bilah pisau dapur untuk
menajamkannya. Keringat dingin membasahi keningku. Jadi, sosok itu membawa pisau! Nyaliku menciut. Bagaimana jika sosok itu hendak melukai keluargaku. Bagaimana
jika ternyata sosok itu
ternyata perampok dan hendak
membunuh Ayah Bunda. Aku harus cepat bertindak tapi
bagaimana jika perampok itu sudah bersiap untuk
melukainku sebelum ia sempat memukulnya?
“Aduuh........kenapa Aku jadi takut begini sih?” bisikku sambil menepuk-nepuk
kepala.
“Ah........aku harus berani, percuma selama ini ia belajar silat jika tidak
membuatku menjadi seorang pemberani!” tekadku
kemudian.
Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi
kepada keluarganku. Aku rela melakukan apa pun agar keluargaku
selamat. Keberanianku kemudian
tiba-tiba timbul entah dari mana sumbernya. Kuat sekali membuatku tidak lagi memikirkan keselamatan diriku sendiri.
Aku mengintip lagi dari balik dinding.
Sosok itu tampak masih sibuk mencari sesuatu di lemari. Pikiran bahwa itu
adalah hantu kini lenyap sudah. Yang ada hanyalah hasrat ingin melumpuhkan
sosok itu. Tidak takut seberapa bahayanya yang akan dihadapi itu.
Sambil membaca basmallah Aku bersiap.
Ini merupakan kesempatan emas untuk membekuknya. 1..2..3.. heaaa!!
Aku melompat ke arah sosok tersebut.
Mendadak langkahku terhenti, tepat ketika sosok itu berbalik menghadap ke arahku. Mataku membelalak tajam, air liurnya berhenti
seketika di kerongkongannya, detak jantungnya tak terasa lagi (lho kok) dan sekujur tubuh serasa membeku.
Dengan tubuh gelap besar, sosok itu menyentuh tubuhku. Aku yang masih setengah sadar ditepuk oleh sosok itu.
“Ayah?”, kataku dengan suara agak seraknya.
“Ay....ah?”, kembali aku bersuara untuk meyakinkan diriku.
Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat. Ternyata yang membuat jantungnya hampir copot adalah Ayahnya
sendiri. Di tangannya ada semangkuk mi instan yang mengepul panas. Ayah masih
memakai baju seragam kerja. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya tampak lelah.
Ayah tersenyum heran melihat Aku. Dalam
benaknya banyak pertanyaan yang bermunculan. Kenapa anak itu terlihat pucat
dengan raket terpegang erat di tangannya? Seperti ingin memukul sesuatu yang
mengerikan.
“Jam segini kok belum tidur?” Pertanyaan pertamanya.
“Itu,
bawa raket, kamu
mau badminton sama siapa malam-malam begini? Apa malah ingin memukul orang?”,
tanya Ayah.
“Engg....anu. Aku belum bisa tidur.
Makanya mau latihan sedikit...”, jawabku sekenanya.
“Hmm...kamu serius mau latihan
malam-malam begini?”
“Eh...ia. Aku kurang bisa satu jurus.
Itu akan diuji besok.”
“Tapi sama siapa? Hantu?”
“Eee....”
“Kamu jangan aneh-aneh jadi anak. Ini
waktunya tidur. Gunakan waktumu untuk tidur saja. Besok ‘kan sekolah.”
“E..ia Yah. Tapi kok Ayah masih memakai
baju dinas malam-malam begini?”
“Ayah baru saja pulang kerja lembur.
Karena lapar dan takut membangunkan Bunda, Ayah membuat mi instan sendiri. Kamu
mau?”
“Kenapa Ayah pulang malam sekali?”
“kan Ayah tadi sudah bilang. Ayah
pulang malam karena kerja lembur. Kerja tambahan di luar jam kerja.”
“Enggak capek Yah?” tanyaku sambil duduk di kursi makandan menemani Ayah. Kaki
yang tadi memasang kuda-kuda kini terasa pegal berdiri terus.
“Capek juga sih. Tapi untuk menambah
penghasilan, sekali-kali capek ‘kan enggak apa-apa. Supaya kamu bisa tetap
sekolah, supaya adikmu tahun depan juga bisa sekolah.” Jawab Ayah.
“Supaya Bunda tetap bisa masak enak ya
Yah?”, sambungku.
Ayah terkekeh mendengarnya. Sesaat Aku
termenung. Jadi begini ya kesibukan orang dewasa? Sejak pagi Bunda sudah
kerepotan mengurus keperluan Aku dan adiku. Ayah
juga tak kalah repotnya, bekerja keras untuk keluarga. Sampai-sampai rela
mengorbankan jam istirahatnya dan pulang selarut ini untuk kerja tambahan.
“Kamu mau susu coklat? Biar Ayah
buatkan.”
Lagi-lagi Aku menggeleng.
“Makasih Yah. Aku mau langsung tidur
saja. Malam, Ayah.”
“Iya.
Jangan lupa berdoa dulu sebelum tidur yah”
Sambil berjalan menuju ke kamar, Aku
melongok ke ruang tamu. Ternyata benar, Bundanya sedang tertidur lelap di sofa.
Karena terlalu lama menunggu Ayah pulang, akhirnya Bunda tertidur.
Aku kembali meringkuk di dalam selimut
hangatku. Dalam hati, Aku bertekad untuk
belajar lebih giat. Aku juga berjanji lebih bersikap baik
kepada Ayah dan Bundanya yang telah banyak berjasa untuknya. Tidak terasa
matanya mulai berat dan ia pun tertidur tanpa berdoa terlebih dahulu seperti
kata Ayahnya.
Kali ini Aku kembali mendengar
bunyi-bunyi aneh. Karena itu, Aku kembali terbangun. Bunyi itu terasa semakin
nyata. Karena penasaran Aku pun turun dari kasur untuk kembali menyelidiki bunyi-bunyian itu. Tidak lupa
membawa raket yang tadi kubawa. Namun, ada sebersit pikiran yang mengatakn bahwa itu Ayahnya.
Tapi tidak, ini terdengar lebih gaduh, lebih nyata, dan lebih.....(apa) Sungguh tidak seperti yang Ayahnya
lakukan tadi malam.
Kembali Aku
bertekad untuk keluar. Rasanya ada yang berbeda dengan kejadian yang kualami dengan Ayah tadi malam.
Geledak!
Suara benda jatuh dari ruang belakang,
entah dari dapur atau kamar mandi. Untuk kali ini hatinya lebih siap karena
belajar dari kejadian tadi.
Srek...srek...srek....
Seperti suara kaki terseret. Entah
kenapa ruangan yang tadinya remang-remang menjadi gelap gulita. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku pun
berjalan merambat mengikuti tembok. Meraba lemari yang biasa digunakan untuk
menaruh senter. Aku ambil senter itu. Kemudian bersiap
untuk kembali berjalan.
Srek...srek...srek....
Kembali terdengar suara itu dan kini
jauh lebih jelas karena Aku tinggal berjarak berapa meter dari dapur.
Kret....srek...srek...srek....
Membuka pintu dan menyeret sesuatu.
Tuhan, lindungi aku, doaku dalam hati. Aku tetap melangkah maju sambil terus berhati-hati.
Cring...
Suara pisau jatuh. Apa itu? Segera Aku percepat
langkahku. Sampai di pintu dapur, ia membuka
pintu pelan-pelan, mengintipnya dari belakang. Sesosok bayangan hitam besar
dengan kantong plastik besar di tangannya. Pikiran Aku melayang ke mana-mana
tak terarah. Apa itu sebenarnya? Atau siapa itu?
Bayangan itu berjalan gontai menuju ke
luar rumah melalui pintu belakang. Tidak mau Aku kecolongan, dengan sigap aku memasang kuda-kuda. Ia semakin ingin melumpuhkan sosok itu
dengan tangannya sendiri karena berani memasuki rumahnya malam-malam tanpa
ijin.
Saat sosok itu memegang daun pintu
belakang untuk membukanya, Aku melompat dan mengayunkan raket yang sedari tadi kupegang.
Bukan main kagetnya Aku karena sosok
itu mengetahui bahwa Aku menyerangnya. Dengan tangannya yang kekar, sosok itu
memegang lenganku dengan keras. Aku sontak menjerit, meronta-ronta ingin lepas.
Tanganku yang kecil memukul-mukul badan kekar itu.
Namun, tiada hasil.
Mataku terlalu takut untuk melihat
sosok hitam besar yang memegangnya itu. Kaki dan tangannya tidak berhenti
melawan. Hingga akhirnya.........
“Kiky....Kiky.... apa
yang kamu lakukan? Ayo bangun. Cepat, ini sudah siang”, kata Bundanya dengan
kesal.
“Bunda....Bunda bukan?”, kata Aku
tergagap.
“Bukan apa? Kamu hampir meninju Bunda
tadi. Kenapa Kamu?”
Untunglah.....”, kata Aku lega.
“Untung apa? Sudah cepat mandi sana.
Sudah telat Kamu”, kata Bunda sembari menyeret selimut Aku dan menariknya
keluar kamar.
“I...ia Bunda”
Ternyata itu hanya mimpi, syukurlah.
Batinku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar