Pernah nggak kamu
merasa sendiri?
Benar-benar sendiri..
Seperti dahulu,
ketika kita masih kecil dan kedua orang tua kita harus pergi sehingga kita
harus tinggal dirumah, dan sendirian. Hingga larut malam, orang tua kita belum
juga pulang. Sedangkan diluar sana hujan, dan angin berhembus sangat kencang.
Kita yang masih
sangat kecil, takut listrik akan padam. Kita selalu membuka tirai jendela
semenit sekali, berharap segera tampak lampu kendaraan yang membawa kedua orang
tua kita. Namun bunyi kendaraan, ataupun sorot lampu kendaraan tak juga muncul.
Yang ada hanya suara rintik hujan yang membentur genteng, serta tersangkut
didedaunan. Yang ada hanya cahaya kilat, diikuti petir yng menyambar, sehingga
kita cepat-cepat menutup pintu dan masuk kedalam tumpukan selimut.
Dan akhirnya
terlelap, hingga akhirnya dipagi hari ibu membangunkan kita. Kita marah-marah
karena kejadian semalam, namun ibu hanya tersenyum. Dan hanya tersenyum.
Pernah nggak kamu
merasa kecewa?
Kecewa, bahkan kesal…
Seperti dahulu, ketika ayah terlambat menjemput kita. Padahal hari sudah sangat
sore, dan PR kita masih banyak. Ayah membuat kita menunggu sangat lama, terlalu
lama untuk ukuran anak sekecil kita waktu itu. Hingga kita adalah orang
terakhir yang menunggu jemputan. Hingga guru-guru bahkan telah pulang kerumah
mereka masing-masing. Hingga penjaga sekolah berkali-kali menatap kita, dan
hanya tersenyum. Kecewa dan kesal karena orang yang kita tunggu-tunggu tak
kunjung datang. Dan ketika ia datang, ia bahkan tidak tersenyum. Yang ada hanya
kerutan di keningnya, yang kita tak tahu apa artinya. Kita belum tahu apa
artinya. Kemudian kita segera menghampiri ayah, dan tak sekalipun menjawab
pertanyaan-nya. Dan ia pun kemudian diam.
Pernah nggak kamu
merasa sedih?
Sedih, bahkan
terluka…
Ketika orang yang
benar-benar kita cintai, pergi meninggalkan kita. Meninggalkan kita.
Seolah-olah, kita adalah sesuatu yang tidak diperlukan lagi. Seolah-olah kita
telah melakukan hal yang sangat buruk, sehingga ia harus pergi dan meninggalkan
kita. Padahal kita masih sangat mencintainya. Padahal kita sangat
menyayanginya. Namun, saat kita menangis karena terluka ibu hanya tersenyum.
Lagi-lagi hanya tersenyum seolah-olah tak mau mengerti perasaan kita. Tak mau
tahu, dan terus saja hanya tersenyum.
Saya tau kamu
pernah, saya pikir kita semua pernah. Atau setidaknya sebagian dari kita
pernah.
Seperti kita tahu,
keluarga adalah lembaga pendidikan pertama kita dan orang tua adalah guru
pertama kita. Orang tua kita mengajari banyak hal, lebih banyak dari siapapun,
guru manapun.
Orang tua mengajari
kita untuk tidak menyerah meski kita jatuh dan mungkin terluka. Dia terus
menggenggam tangan kita. Hingga entah berapa ribu kali kita tertajatuh dan toh akhirnya
kita dapat berdiri lagi dan hasilnya bisa berjalan, hingga saat ini.
Orang tua bahkan mengajari kita cara mengenali
diri kita sendiri. Mereka mengajari kita berbicara, meski tampaknya mustahil
karena apa yang keluar dari mulut kita hanya celotehan, tawa dan tangis.
Bagaimana mungkin kita bisa bicara seperti mereka???
Tapi mereka tetap
saja melakukannya, mengajari kita, "memanggil" kita. Karena mereka
tahu dan percaya, kita bisa, seperti jutaan anak lainya, kita pasti bisa. Dan
akhirnya, kita bahkan berbicara bahasa lain yang tidak mereka kuasai. Inggris,
Jepang, atau mungkin.... Korea?
Orang tua kita. Ya.
Mereka tahu banyak hal.
Bukan soal ilmu
pengetahuan atau sains atau pemansan global. Mereka tahu banyak hal, soal
dunia, soal kehidupan, soal kita. Mereka hidup jauuuh lebih lama dari kita, dan
membuat kita tetap hidup. Mereka belajar jaaauuuhh lebih dulu daripada kita
semua, dan mengajari kita cara untuk belajar.
Mereka tahu dunia
tidak selalu terang, tak selalu cerah, akan datang waktu malam, dan terkadang
langit tertutup mendung.
Mereka tahu, bahwa
dunia tak selalu lembut. Adakalanya ia keras. Tak seperti yang kita inginkan,
tak seperti yang kita harapkan. Tak seperti yang kita duga. Bahkan sama sekali
tak terduga. Sama sekali tak seperti yang kita harapkan, dan sama sekali tidak
kita inginkan.
Mereka tahu itu, dan
mereka tahu itu akan berlalu.
Mereka tahu esok
paginya kita akan terbangun dan seolah-olah rasa takut, kecewa, dan kesedihan
itu hilang. Puffttt…. Hilang, dan menguap, begitu saja. Dan kita masih,
baik-baik saja.
Mereka, bisa saja
mengajak kita dan tidak meninggalkan kita sendirian di rumah dengan resiko kita
akan berbuat hal buruk saat mereka sedang menjani urusan yang penting –karena
umur kita yang belum mencukupi- atau dengan resiko kita sakit karena terkena
angina malam, atau kelelahan dan esok paginya tak dapat bersekolah.
Mereka mengajari kita
bersabar lebih dari batasan kita di usia kita saat itu dengan kita harus
menunggu lebih lama, sangat lama –meskipun kita semua tau, mereka pasti punya
alas an yang sangat kuat, mungkin sangat penting, sehingga mereka tidak bisa
datang tepat waktu.
Mereka mengajari
kita mengikhlaskan, menerima, dan menghadapi kenyataan, kenyataan bahwa apa
yang kita miliki bukanlah milik kita sendiri. Dari senyum ibu, ia berkata "nak
ayahmu tidak pergi kemanapun, dia hanya berpindah milik, syurga sudah lama
ingin bertemu dengan beliau"
Mereka mengajari kita untuk tidak takut, untuk menjadi
pemberani, untuk menjadi penyabar, untuk mengikhlaskan dan untuk menjadi
manusia yang selalu bisa “baik-baik saja”
Itulah mereka, mengajari kita tanpa mengajari. Itulah mereka,
yang mengajari kita secara tidak langsung. Bahkan mungkin, tanpa mereka sadari.
Karena ada Tuhan pada diri mereka, Tuhan mengajarkan kita hidup melalui mereka
sebagai perantara, orang tua kita.
Untuk orang tuaku tercinta.
Ibu. Ibu. Ibu. Dan Ayah.
Aku selalu menyayangi kalian.