Jumat, 26 Juli 2013

Ini keluargaku, dan kisah kami

Jam pagi kami, tidaklah terlalu pagi. Pukul empat lewat tiga puluh menit. Cukup pagi memang, untuk orang yang suka bermalas-malasan. Ya, aku. Kami tergolong keluarga yang fleksibel soal waktu. Ya, seperti karet. Terkadang tepat waktu, tak jarang terlambat, dan jarang datang lebih awal. Namun ayahku -aku memanggilnya bapak- adalah orang yang disiplin. Sangat disiplin. Kecuali soal waktu, tentu saja.

Tidak, kami bukan keluarga militer. Bukan juga keturunan kesekian dari keluarga militer. Kami, hanya warga sipil biasa. Dalam silsilah keluarga ayahku, hanya kakekku lah yang sempat mengenyam pendidikan militer, hampir ikut berperang, namun tidak mendapat kesempatan. Usianya saat itu delapan tahun, sedangkan syarat mutlak agar bisa dikirim menjadi tentara adalah sembilan tahun. Ia adalah atlet yang hebat, pelompat tinggi yang lebih hebat, dan pejalan kaki yang luar biasa hebat. Setidaknya, begitulah menurut cerita yang tidak pernah ia lupa untuk diceritakan padaku, dan seperti biasa akan diakhiri dengan kalimat tanya "koe ora kepengin dadi tentara?" yang berarti "Kamu tidak ingin menjadi tentara?" Dan aku hanya menggeleng, tersenyum takzim.

Sedangkan silsilah dari keluarga ibuku, kesemuanya hanyalah petani biasa. Bukan tentara maupun pegawai pemerintahan, bukan juga anggota keraton. Keluarga petani yang cukup bahagia dengan kesedarhanaan hidup. Bertani untuk makan dan makan untuk bertani.

Keluarga kami tergolong keluarga yang mampu, namun tidaklah serba berkecukupan. Orang tuaku, ayah dan ibuku hanyalah guru SD, PNS, kuli pemerintah. Tiap bulan mereka mengharap bayaran dari pemerintah, dari uang rakyat. Meskipun tergolong mampu, keluarga kami belum bisa berdiri sendiri. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana yang didirikan oleh ayahku, kepala keluarga kami. Didirikan di atas tanah milik kakek buyutku, Dullah Kadir.

Nama yang berhasil -dengan cepat- membuat orang-orang dilingkunganku mudah mengenaliku. Konon, kakekku yang satu ini memiliki banyak tanah. Masa mudanya ia habiskan dengan menjadi pengusaha, cukup sukses pada kala itu. Lebih sukses dibanding ayah dari ayahku, yang merupakan menantu dari kakek buyutku. Maka para tetangga akan lebih familiar dengan sebutan "putune Mbah Dullah Kodir" dibanding "putune Mbah Sasmitareja" Meskipun kesemuanya benar. Aku cucu mereka.

Ayahku adalah cucu favorit mbah Dullah Kodir dan istrinya, ini tak lepas dari fakta bahwa ayahku dibesarkan oleh mereka. Nenekku -yang tak lain adalah anak sulung mereka dan ibu dari ayahku tentu saja- jatuh sakit setelah melahirkan ayahku pada hari kedua lebaran. 'Idul Fitri. Dan mungkin, ini juga yang mendasari ayahku untuk merawat kakek dan neneknya hingga usia senja, dan terbenam. Tidak, ia bukan orang yang durhaka, tentu saja ayahku telah membangunkan sebuah rumah yang jelas jauh lebih layak (dibanding ketika ayahku kecil) untuk kedua orang tuanya dan adik adiknya. Sepuluh bersaudara.

Bukan kehidupan yang mudah tentu saja. Setidaknya dibandingkan dengan hidupku, dengan tiga saudara, dan makanan serta tempat tinggal yang berkali-kali lipat lebih layak. Begitu banyak lipatan, hingga terkadang aku lupa untuk mengucap syukur atas yang aku miliki-yang mereka berikan, gratis.

Aku terkadang lupa, bagaimana ayahku -ketika kecil- harus memakai rok, karena kedua kakaknya adalah perempuan dan harga celana tidaklah semurah segenggam padi. Tentu saja ayahku menangis, ditertawakan oleh teman-temnnya, anak-anak lain, dan bahkan orang dewasa disekitarnya. Itu adalah kali pertama ayahku memakai pakaian lengkap, berseragam, itu adalah kali pertama ia bersekolah. Sebelum ia bersekolah, celana dan rok tidaklah penting. Setidaknya, tidak lebih penting dari sepiring nasi. Maka saat itu juga, anak kecil itu tak mau lagi berangkat sekolah. Kecuali memakai celana. Aku terpingkal-pingkal, terbahak-bahak ketika diceritakan kisah ini oleh nenekku, aku tertawa keras sekali. Kemudian menangis.



bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar