Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 Agustus 2013

Ayahku

Ah, ayahku. Dia orang yang luar biasa. Aku kagum padanya. Tentu saja, seperti jutaan anakn lainnya. Tapi, aku bukan orang yang fanatis, aku rasa dia juga begitu. Terkadang kami saling berselisih pendapat dan aku jarang sekali memenangkan argumenku. Aku belajar banyak soal keras kepala-darinya.

Dia orang yang sangat sering memberiku kultum,yang tidak ahanya tujuh menit tentu saja. Ketika aku terlambat sholat berjama'ah, ketika aku lebih keras abernyanyi daripada membca al-qur'an, ketika barang-barangku berserakan tidak tertata, ketika aku berangkat ke sekolah dengan terburu-buru (hal yang juga kupelajari darinya). Serta hal lain, yang tak jarang dia pun melakukannya. Sampai-sampai aku gemas ingin sekali ingin memberinya kultum. Tapi tak pernah kulakukan.

Tentu saja dia bukan makhluk yang sempurna, dia melakukan banyak kesalahan. Namun, aku selalu berusaha "mendengar apa yang dikatakan, bukan melihat siapa yang bicara" Apapun yang ia katakan, sarankan dan nasihatkan kepadaku adalah hal-hal yang baik dan untuk membuatku lebih baik. Dia orang yang baik, bukan?



Entah, apakah dia memiliki ayah sebaik ayahku.
Yang kuyakini, ayahku adalah orang yang baik. Dan Tuhan Maha Baik menjadikan aku bagian dari keluarga ayahku.

Aku

Aku? Entah, aku tak begitu tahu apa yang orang lain tau tentangku. Mereka punya kacamata yang berbeda-beda. Mereka melihatku dari arah, waktu dan kondisi yang berbeda. Ketika kulontarkan pertanyaan "menurutmu, aku ini orang yang bagaimana?" Pernyataan panjang lebar mereka sampaikan, yang terkadang membuatku tidak mengenali diriku. Dari mata mereka.

Aku bukan orang jahat. Aku bisa pastikan hal itu. Setidaknya, dari kacamataku. Aku diajari untuk tidak menjadi jahat. Dan aku tidak pernah belajar untuk berbuat jahat. Ketika orang lain menganggapku jahat, mungkin aku sedang berbuat kesalahan. Namun, aku berjanji tidak akan pernah belajar untuk menjadi jahat.

Aku orang yang naif. Aku suka pemandangan yang indah, lingkungan ayang bersih, alam yang subur, air yang jernih, angin yang sejuk, pohon yang rindang, awan yang teduh dan matahari yang cerah. Namun aku aorang yang naif. Aku masih melanggar banyak budaya "membuang sampah pada tempatnya." Aku bukan pecandu pelanggaran, tapi aku cukup sering melanggar. Aku suka keindahan, tapu aku mengindahkan lingkungan sekitarku. Kamarku, adalah lingkungan yang aku jarang sekali melihatnya indah dan rapi.

Al\ku orang yang cerewet dan pendiam di saat yang bersamaan. Aku orang aneh paling wajar yang pernah kukenal. Aku orang yang jauh lebih baik dari diriku. Ya. Aku tahu aku lebih baik. Aku selalu menjadi lebih baik dari diriku dan akan seterusnya begitu.


Aku.

Jumat, 26 Juli 2013

Ini keluargaku, dan kisah kami

Jam pagi kami, tidaklah terlalu pagi. Pukul empat lewat tiga puluh menit. Cukup pagi memang, untuk orang yang suka bermalas-malasan. Ya, aku. Kami tergolong keluarga yang fleksibel soal waktu. Ya, seperti karet. Terkadang tepat waktu, tak jarang terlambat, dan jarang datang lebih awal. Namun ayahku -aku memanggilnya bapak- adalah orang yang disiplin. Sangat disiplin. Kecuali soal waktu, tentu saja.

Tidak, kami bukan keluarga militer. Bukan juga keturunan kesekian dari keluarga militer. Kami, hanya warga sipil biasa. Dalam silsilah keluarga ayahku, hanya kakekku lah yang sempat mengenyam pendidikan militer, hampir ikut berperang, namun tidak mendapat kesempatan. Usianya saat itu delapan tahun, sedangkan syarat mutlak agar bisa dikirim menjadi tentara adalah sembilan tahun. Ia adalah atlet yang hebat, pelompat tinggi yang lebih hebat, dan pejalan kaki yang luar biasa hebat. Setidaknya, begitulah menurut cerita yang tidak pernah ia lupa untuk diceritakan padaku, dan seperti biasa akan diakhiri dengan kalimat tanya "koe ora kepengin dadi tentara?" yang berarti "Kamu tidak ingin menjadi tentara?" Dan aku hanya menggeleng, tersenyum takzim.

Sedangkan silsilah dari keluarga ibuku, kesemuanya hanyalah petani biasa. Bukan tentara maupun pegawai pemerintahan, bukan juga anggota keraton. Keluarga petani yang cukup bahagia dengan kesedarhanaan hidup. Bertani untuk makan dan makan untuk bertani.

Keluarga kami tergolong keluarga yang mampu, namun tidaklah serba berkecukupan. Orang tuaku, ayah dan ibuku hanyalah guru SD, PNS, kuli pemerintah. Tiap bulan mereka mengharap bayaran dari pemerintah, dari uang rakyat. Meskipun tergolong mampu, keluarga kami belum bisa berdiri sendiri. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana yang didirikan oleh ayahku, kepala keluarga kami. Didirikan di atas tanah milik kakek buyutku, Dullah Kadir.

Nama yang berhasil -dengan cepat- membuat orang-orang dilingkunganku mudah mengenaliku. Konon, kakekku yang satu ini memiliki banyak tanah. Masa mudanya ia habiskan dengan menjadi pengusaha, cukup sukses pada kala itu. Lebih sukses dibanding ayah dari ayahku, yang merupakan menantu dari kakek buyutku. Maka para tetangga akan lebih familiar dengan sebutan "putune Mbah Dullah Kodir" dibanding "putune Mbah Sasmitareja" Meskipun kesemuanya benar. Aku cucu mereka.

Ayahku adalah cucu favorit mbah Dullah Kodir dan istrinya, ini tak lepas dari fakta bahwa ayahku dibesarkan oleh mereka. Nenekku -yang tak lain adalah anak sulung mereka dan ibu dari ayahku tentu saja- jatuh sakit setelah melahirkan ayahku pada hari kedua lebaran. 'Idul Fitri. Dan mungkin, ini juga yang mendasari ayahku untuk merawat kakek dan neneknya hingga usia senja, dan terbenam. Tidak, ia bukan orang yang durhaka, tentu saja ayahku telah membangunkan sebuah rumah yang jelas jauh lebih layak (dibanding ketika ayahku kecil) untuk kedua orang tuanya dan adik adiknya. Sepuluh bersaudara.

Bukan kehidupan yang mudah tentu saja. Setidaknya dibandingkan dengan hidupku, dengan tiga saudara, dan makanan serta tempat tinggal yang berkali-kali lipat lebih layak. Begitu banyak lipatan, hingga terkadang aku lupa untuk mengucap syukur atas yang aku miliki-yang mereka berikan, gratis.

Aku terkadang lupa, bagaimana ayahku -ketika kecil- harus memakai rok, karena kedua kakaknya adalah perempuan dan harga celana tidaklah semurah segenggam padi. Tentu saja ayahku menangis, ditertawakan oleh teman-temnnya, anak-anak lain, dan bahkan orang dewasa disekitarnya. Itu adalah kali pertama ayahku memakai pakaian lengkap, berseragam, itu adalah kali pertama ia bersekolah. Sebelum ia bersekolah, celana dan rok tidaklah penting. Setidaknya, tidak lebih penting dari sepiring nasi. Maka saat itu juga, anak kecil itu tak mau lagi berangkat sekolah. Kecuali memakai celana. Aku terpingkal-pingkal, terbahak-bahak ketika diceritakan kisah ini oleh nenekku, aku tertawa keras sekali. Kemudian menangis.



bersambung....

Selasa, 11 Juni 2013

JENDELA RARA

oleh ASMA NADIA


Sebuah rumah imut dengan dinding hijau berlumut, jendela-jendela besar yang menjaring matahari dan halaman mungil berumpun melati


Apa lagi?
 

Rara, anak perempuan berusia sembilan tahun itu terus menggambari belakang kertas bungkus cabai, yang diambilnya dari los sayur Yu Emi. Sebuah pensil pendek terselip di jarinya. Mata Rara masih memandangi gambar rumah mungil, yang menjadi impiannya. Mulut kecilnya menyumbang senyum. Manis.


“Mak, kapan kita punya rumah?”
 

Sejak ia mengerti arti tempat tinggal, pertanyaan itu kerap disampaikannya pada Emak. Mulanya perempuan berusia empat puluh limaan, yang rambutnya beruban di sana-sini itu, tak menjawab. Baginya tak terlalu penting apa yang ditanyakan anak-anak. Kerasnya kehidupan membuat ia dan lakinya, hanyut dalam kepanikan setiap hari, akan apa yang bisa dimakan anak-anak esok. Maka pertanyaan apapun dari anak-anak lebih sering hanya lewat di telinga.
 

“Mak, kapan kita punya rumah?”
 

Kanak-kanak seusia Rara, tak mengenal jera atau bosan mengulang pertanyaan serupa. Dan kali ini, ia berhasil mendapat perhatian lebih dari Emak. Sambil menyandarkan punggunggnya di dinding tripleks mereka yang tipis, Emak menatap sekeliling. Matanya menyenter rumah kotak mereka yang empat sisinya terbuat dari tripleks. 

Hanya satu ruangan, di situlah mereka sekeluarga, ia, suami dan lima anaknya—sekarang empat—memulai dan mengakhiri hari-hari. 
Tak ada jendela, karena rumah-rumah di kolong jembatan jalan tol menuju bandara itu terlalu berdempet. Bahkan nyaris tak ada celah untuk sekadar lalu lalang, kecuali gang senggol yang terbentuk tak sengaja akibat ketidakberaturan pendirian rumah-rumah tripleks di sana.
 

Beberapa yang beruntung mendapatkan tiang rumah yang lebih kokoh,langsung dari beton tebal yang menyangga jalan tol di atas mereka. Kamar mandi? Ada MCK umum yang biasa mereka pakai sehari-hari. Cukup bayar tiga ratus rupiah, sudah bisa mandi puas.
 

Belasan tahun mereka tinggal di sana. Tidak perlu bayar pajak, hanya uang sewa setiap bulan yang disetorkan ke Rozak, Ketua RT mereka, sekaligus orang paling berkuasa di perkampungan sini, juga uang listrik ala kadarnya. Memang semua sangat sederhana, tapi baginya tempat tinggal ini tetap…
“ini rumah kita, Ra!”


Rara menggeleng. Ekor kuda di kepalanya yang kemerahan, karena sering ditempa garang matahari bergoyang beberapa kali. Di benaknya bermain bayangan tumah tinggal yang diimpikannya:
 

Sebuah rumah imut dengan dinding kehijauan berlumut,
Jendela-jendela besar yang menjaring matahari dan halaman mungil berumpun melati
 

Emak tampak kaget dengan tanggapan anaknya.
 

“Rara mau punya rumah yang ada jendelanya, Mak!”
 

“Bisa. Besok kita minta abangmu buatkan jendela satu, ya? Kecil saja tak apa, kan?” ujar Emak sambil tertawa. Kemana jendela itu akan menghadap nanti? pikirnya, ke rumah Mas Dadang tetangga merekakah? Apa iya mereka mau diintip kegiatannya setiap hari?
 

Tapi siapa tahu. Paling tidak hal itu mungkin bisa membuat Rara senang. Kalau dia menolak mengamen di perempatan lampu merah nanti, apa tidak repot?
 

Anaknya lima orang. Yang tertua jadi tukang pukul di tempat Mami Lisa, kompleks pelacuran dekat tempat tinggal mereka. Anak kedua, entah apa kerjanya, kadang pulang, lebih sering menghilang. Anak yang ketiga perempuan, sebetulnya dulu rajin sekolah, apa daya ia tak sanggup lagi menyolahkan si Asih. Jadilah gadis lima belas tahun itu drop out dari sekolah, dan sekarang kabarnya sudah jadi anak buah Mami. Entahlah. 

Anaknya yang keempat, bocah laki-laki, selisih dua tahun dari Rara, tewas dua bulan lalu, dengan luka di bagian leher dan anus. Mungkin jadi korban laki-laki gendeng yang suka menyantap anak-anak kecil.
Rara anaknya yang bontot. Keras kepala dan punya keinginan kuat. Sekarang masih sekolah di madrasah ibtidaiyah, itu pun karena kebaikan hati kakak pengajar di sana, ia tak harus membayar sepeser pun. Syukurlah.
 

“Jendelanya bisa masuk matahari, enggak, Mak?”
 

Rara menggoyang bahu Emanknya. Tapi kali ini perempuan yang melahirkannya itu hanya menghela napas berat dan meninggalkan Rara dengan bayangan jendela-jendela besar yang menjaring sinar matahari.
 

Di Madrasah, sorenya. “Kata Mak, rumahku akan punya jendela!”
Rara berbisik ke telinga teman sebangkunya. Di sekitarnya, kawan-kawan sedang mengikuti surat Al-Ma’un yang diucapkan Kak Romlah.
 

“Yang bener, Ra?”
 

Dua bola mata bulat milik Inah membesar. Ia ikut senang jika impian Rara terwujud. Sejak dulu Rara sering bicara soal keinginnannya memiliki rumah kecil dengan jendela-jendela besar yang memungkinkan sinar matahari masuk ke dalamnya.
 

“Kita bisa hemat listrik! Enggak usah idupin lampu lagi kalo siang!”
 

Rara menambahkan. Giginya yang kecil-kecil tampak seiring senyumnya yang lebar.
 

“Bisa belajar di sana dong?”
 

“Iya! Enggak harus ke gardu dulu untuk baca buku. Kan udah terang?”
 

Senyum lebarnya terkembang lagi. Inah tampak ikut senang.
 

“Aku mau minta ibuku bikin jendela juga, ah!”
 

“Aku juga!”
 

“Apa? Jendela di rumah Rara?”
 

“Gue juga deh. Mau bilang Bapak!”
 

“Enak ada jendela!”
 

Tiba-tiba suasana kelas riuh seperti pasar. Berita Rara yang rumahnya akan punya jendela menyebar luas. 

Ternyata apa yang diinginkan gadis kecil itu juga menjadi mimpi anak-anak yang lain.
“Jendelaku nanti paling buesar!”
 

Ipul, anak salah satu karyawan Mami Lisa, mengakhiri obrolan mereka sore itu sepulang dari madrasah.
——
“Jadi bikin jendela, Ra?”
 

Bang Jun, mencolek pipinya. Mata laki-laki berusia dua puluh tahun itu mengamati hasil coretan adiknya.
“Udah malam kok belum tidur?”
 

Rara tidak menjawab. Tangannya masih asyik menari-nari di atas secarik kertas usang yang diambilnya lagi dari Yu Emi.
 

“Eh, itu gambar apa, Ra?” komentar abangnya lagi.
 

“Jendela? Kok gede banget!”
 

Rara menghentikan kegiatan menggambarnya. Bola matanya yang cokelat menatap Bang Jun yang perhatiannya terpusat pada gambar. Gadis kecil itu menganggukkan kepala. Senyumnya cerah.
 

“Jadi kan, Bang Jun bikinin Rara jendela?” kalimatnya dengan tatapan penuh harap.
 

Jun hanya menatap Emak dan Bapak yang tiduran di atas sehelai tikar using. Wajah kedua orangtuanya itu tampak letih. Pastilah. Bukan pekerjaan ringan mencomoti barang dari tempat sampah satu ke tempat sampah lain. Belum jika hasil mulung Bapak, ternyata besi-besi tua. Memang bawa untung yang lebih besar. 

Tapi berat yang dipikul juga jelas jauh dibandingkan sampah botol plastik atau barang-barang lain . Malah akhir-akhir ini cuaca makin panas saja.
 

“Bang…”
 

Rara menarik kaus oblong yang dipakai abangnya. Beberapa saat Rara dan abangnya bertatapan, dengan pikiran masing-masing yang tak terpantulkan. Tapi keheningan mereka segera buyar oleh langkah-langkah yang terdengar dari depan. Asih muncul di balik pintu. Matanya yang sayu segera saja menatap keduanya tak semangat.
 

“Masih ngeributin soal jendela?”
 

Rara tak menjawab, tangannya meraih tas murahan yang dibawa Asih. Dengan sigap, gadis kecil itu mengambil air di teko dan mengulurkan ke kakaknya. Tapi Asih yang mulutnya bau minuman keras itu menepis.
 

“Gue ngantuk. Malah tadi laki-laki yang gue temenin minumnya kuat banget. Mau nolak, engga enak sama Mami.”
 

“Bilang aja lo sakit, sih! Tadi aja gue pulang duluan. Lagian pegawai Mami Lisa kan enggak cuma elo.”
 

“Iya, tapi itu kan sama aja nolak rezeki!
 

Rara diam, mendengarkan saja percakapan kedua saudaranya. Tapi kalimat kakaknya barusan, mengusiknya untuk menimpali, “Kata guru Rara di madrasah, rezeki kan dari Allah, Kak. Bukan dari tamu!”
Kalimat lugu yang dengan cepat dipatahkan kakaknya.
 

“Ahh, anak kecil sok tau. Tunggu nanti kamu gede, baru ngerasain. Hidup tuh cari yang haram aja susah, apalagi yang halal!”
 

Rara menundukkan kepala. Kakaknya dulu lembut dan baik hati. Sempat juga ngaji di madrasah seperti dia. Tapi setelah putus sekolah dan jadi karyawan di tempat Mami, gadis berkulit hitam manis itu berubah. Dandanannya makin menor. Ke mana-mana pake kaus dan celana panjang serbaketat. Omongannya juga jadi kasar.
 

Rara tahu, tidak Cuma kakaknya yang berubah. Tapi juga kakak si Inah, ibu si Ipul, dan banyak lagi. Konon mereka dulu juga anak madrasah. Tapi daya tarik rumah pelacuran, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari madrasah terlalu menggoda. Itu jalan pintas dapat duit. Realitas masyarakat di sudut-sudut Jakarta yang bukan tidak diketahui orang.
 

Rara tercenung. Mungkin benar hidup jadi orang dewasa itu sulit, pikirnya. Mungkin itu sebabnya mereka jarang tersenyum.
 

“Ra! Kalo mau punya jendela, modal sendiri dong!” lantang suara kakaknya mengagetkan Rara.
 

“Asih!”
 

Asih yang mabuk terus bicara dan tak menggubris teguran Jun.
 

“Kebutuhan tuh banyak. Udah bagus gue sama Jun kerja. Pake buat yang lebih penting dong!” cerocos Asih, tangannya menjewer kuping Rara.
 

Rara tak gentar. Matanya yang jernih menatap lurus kearah Asih yang menyalakan rokok dan menghirupnya nikmat. Bagaimanapun Kak Asih harus tahu kalo jendela itu…
 

“Jendela itu penting, Kak. Buat keluar-masuk udara. Terus kalo siang kita enggak perlu nyalain lampu. Udah terang karena sinar matahari yang masuk!” jawab Rara tak kalah keras.
 

“Tapi banyak yang lebih penting dari jendela,” Asih tak mau kalah, “Makan kamu misalnya!” lanjutnya kesal. Bayangkan ia sudah capek-capek tiap malam, kadang lembur merelakan badannya melayani empat tamu dalam semalam. Apa adiknya itu tahu?
 

“Tapi kata Emak, Bang Jun bakal bikinin Rara jendela. Ya, kan, Bang?”
Suara Rara lirih, bercampur isakan. Jun yang melihatnya jadi tidak tega. Tangan cowok itu membelai-belai kepala adiknya. Lalu menatap Rara lunak.
 

“Iya. Tapi Rara juga ikut kumpulin duit, ya? Jangan dipake jajan! Kita perlu uang untuk beli kayu, kaca, bikin kusennya…”
 

“Dan itu mahal, tau, Ra!”
 

“Ssst… Asih!”
 

Keributan yang kemudian tak terelakkan antara Jun dan Asih membuat Rara melarikan diri ke sudut rumah. Ia berjongkok sendiri, mata cokelatnya berkaca. Bertambah-tambah perasaan gundahnya kala Bapak terbangun lantaran suara berisik yang timbul, lalu menempeleng keduanya.
Dan semua gara-gara jendela besar Rara.
 

Ahh. Rara mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Besok ia akan mengamen lebih giat. Kalau perlu sambil jual koran, semir sepatu, atau membersihkan kaca mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Apa saja, pikir Rara.
 

Belakangan, lelah dan air mata membuat Rara tertidur. Pikiran kanak-kanak membawanya pada impian. Malam itu Rara bermimpi menari di antara jendela-jendela besar yang mengantarkan sinar matahari kepadanya. Juga kerlip bintang-bintang malam hari.
 

Selama seminggu lebih, Rara berhemat. Ia bahkan menghemat mandi, sehari sekali, supaya bisa menyimpan tiga ratus rupiah di sakunya. Uang perolehannya ngamen dan bekerja di perempatan , tak dipakainya sesen pun untuk beli es mambo di warung, kwaci, permen, dan jajanan lain. Ia betul-betul berhemat.
 

Dan sore ini Rara pulang dengan hati melonjak-lonjak. Menurut hemat gadis kecil dengan rambut diekor kuda itu, tabungannya cukup untuk membuat sebuah jendela yang besar. Bahkan jika tidak ada halangan, lusa mungkin ia sudah bisa menatap sinar matahari menghangatkan lantai tanah di rumah mereka. Membayangkan itu, perasaan Rara makin tak keruan. Seperti meluncur dari tempat yang tinggi. Sangat tinggi.
 

“Assalamu’alaikum! Emak?”
 

Rara menghambur kearah Emak yang sedang menyapu lantai. Bohlam sepuluh watt, mengalirkan hawa panas yang merembesi baju Emak. Padahal di luar sana masih terang.
 

“Mak, sini.”
 

Rara menyeret tangan perempuan itu, memaksanya duduk di bangku kayu yang satu kakinya telah patah.
 

“Apaan sih, Ra?”
 

Emak menatap anak bungsunya dengan pandangan sedikit cemas. Apa lagi sekarang? Baru semingguan ia merasa lega, karena Rara tidak lagi mengutarakan keinginannya untuk punya jendela. Yang dikatakan bapaknya si Rara memang benar. Anak kecil enggak usah terlalu dianggap serius. Mereka kadang memang menggebu-gebu minta sesuatu. Namun biasanya, keinginan itu juga cepat menguap dan hilang dari ingatan.
Rara masih memandang Emak dengan mata bercahaya. Keriangan anak-anak terpancar di wajahnya yang oval.
 

“Mak, tebak!”
 

“Apaan?”
 

Aduh, jangan soal jendela lagi. Jangan-jangan dia minta punya dua pintu lagi? Atau kamar sendiri? Batin perempuan itu sedikit cemas.
Rara menyerahkan sejumlah uang dalam kepalannya, ke telapak tangan Emak yang basah keringat.
 

“Buat bikin jendela! Jadi kalo kulit Rara sekarang lebih gosong, bukan karena main, Mak! Tapi karena Rara kerja banting tulang buat jendela kita! Papar gadis kecil itu ceriwis.
Jendela?
 

Mata penat Emak menatap berganti-ganti, dari uang di tangannya, dan raut wajah di bungsu. Begitu terus selama beberapa saat. Sayang, Rara terlalu riang untuk memperhatikan perubahan wajah Emak. Bocah perempuan itu malah terus bicara dengan kalimat-kalimat panjang, kadang nyaris tersedak, karena kebahagiaan yang meletup-letup.
 

“Jendelanya nanti di sebelah sini, ya, Mak. Rara mau nya kayunya warna cokelat tua. Malam ini Rara mau begadang nungguin Bang Jun. Mau kasih tau modelnya. Besok pagi, biar Rara temenin Bang Jun ke toko material. Kita bisa beli kayu, terus kaca, terus…”
 

Emak tak mendengar lagi penjelasan Rara. Benaknya digayuti kejadian siang tadi, ketika Pak RT datang bersama sekretarisnya dan berbicara serius.
 

“Gara-gara Rara, semua anak di sini pada minta dibuatin jendela sama orangtuanya. Saya bukannya tidak mau mengizinkan. Tapi kan Emak tahu sendiri situasinya. Rumah-rumah saling menempel, dinding yang satu menjadi dinding yang lain. Lagi pula, kalau dipaksakan, percuma tidak akan bisa masuk sinar matahari. Kecuali kalau mau ngebor jalan tol di atas sana! Saya sebagai Ketua RT tidak bisa mengizinkan!”

Mata lelah Emak mulai menggenang. Andai saja ia bisa memantulkan pikiran di benaknya. Pastilah seperti cermin yang memantulkan dua sisi bayangan. Rumahnya dan penduduk lain di bawah kolong jembatan ini, di satu sisi. Dan rumah Pak RT, di sisi lain, dengan jendela-jendela kaca yang besar.
 


Waktu masih terisi celotehan antusias Rara. Di dekatnya, Emak masih menatapi gumpalan uang kertas dan receh di tangannya.