Kamis, 13 Juni 2013

Orang tua kita mengajari lebih

Pernah nggak kamu merasa sendiri?
Benar-benar sendiri..
Seperti dahulu, ketika kita masih kecil dan kedua orang tua kita harus pergi sehingga kita harus tinggal dirumah, dan sendirian. Hingga larut malam, orang tua kita belum juga pulang. Sedangkan diluar sana hujan, dan angin berhembus sangat kencang. 
Kita yang masih sangat kecil, takut listrik akan padam. Kita selalu membuka tirai jendela semenit sekali, berharap segera tampak lampu kendaraan yang membawa kedua orang tua kita. Namun bunyi kendaraan, ataupun sorot lampu kendaraan tak juga muncul. Yang ada hanya suara rintik hujan yang membentur genteng, serta tersangkut didedaunan. Yang ada hanya cahaya kilat, diikuti petir yng menyambar, sehingga kita cepat-cepat menutup pintu dan masuk kedalam tumpukan selimut.
Dan akhirnya terlelap, hingga akhirnya dipagi hari ibu membangunkan kita. Kita marah-marah karena kejadian semalam, namun ibu hanya tersenyum. Dan hanya tersenyum.

Pernah nggak kamu merasa kecewa?
Kecewa, bahkan kesal…

Seperti dahulu, ketika ayah terlambat menjemput kita. Padahal hari sudah sangat sore, dan PR kita masih banyak. Ayah membuat kita menunggu sangat lama, terlalu lama untuk ukuran anak sekecil kita waktu itu. Hingga kita adalah orang terakhir yang menunggu jemputan. Hingga guru-guru bahkan telah pulang kerumah mereka masing-masing. Hingga penjaga sekolah berkali-kali menatap kita, dan hanya tersenyum. Kecewa dan kesal karena orang yang kita tunggu-tunggu tak kunjung datang. Dan ketika ia datang, ia bahkan tidak tersenyum. Yang ada hanya kerutan di keningnya, yang kita tak tahu apa artinya. Kita belum tahu apa artinya. Kemudian kita segera menghampiri ayah, dan tak sekalipun menjawab pertanyaan-nya. Dan ia pun kemudian diam.

Pernah nggak kamu merasa sedih?
Sedih, bahkan terluka…
Ketika orang yang benar-benar kita cintai, pergi meninggalkan kita. Meninggalkan kita. Seolah-olah, kita adalah sesuatu yang tidak diperlukan lagi. Seolah-olah kita telah melakukan hal yang sangat buruk, sehingga ia harus pergi dan meninggalkan kita. Padahal kita masih sangat mencintainya. Padahal kita sangat menyayanginya. Namun, saat kita menangis karena terluka ibu hanya tersenyum. Lagi-lagi hanya tersenyum seolah-olah tak mau mengerti perasaan kita. Tak mau tahu, dan terus saja hanya tersenyum.


Saya tau kamu pernah, saya pikir kita semua pernah. Atau setidaknya sebagian dari kita pernah.


Seperti kita tahu, keluarga adalah lembaga pendidikan pertama kita dan orang tua adalah guru pertama kita. Orang tua kita mengajari banyak hal, lebih banyak dari siapapun, guru manapun.

Orang tua mengajari kita untuk tidak  menyerah meski kita jatuh dan mungkin terluka. Dia terus menggenggam tangan kita. Hingga entah berapa ribu kali kita tertajatuh dan toh akhirnya kita dapat berdiri lagi dan hasilnya bisa berjalan, hingga saat ini.

 Orang tua bahkan mengajari kita cara mengenali diri kita sendiri. Mereka mengajari kita berbicara, meski tampaknya mustahil karena apa yang keluar dari mulut kita hanya celotehan, tawa dan tangis. Bagaimana mungkin kita bisa bicara seperti mereka???
Tapi mereka tetap saja melakukannya, mengajari kita, "memanggil" kita. Karena mereka tahu dan percaya, kita bisa, seperti jutaan anak lainya, kita pasti bisa. Dan akhirnya, kita bahkan berbicara bahasa lain yang tidak mereka kuasai. Inggris, Jepang, atau mungkin.... Korea?


Orang tua kita. Ya. Mereka tahu banyak hal.
Bukan soal ilmu pengetahuan atau sains atau pemansan global. Mereka tahu banyak hal, soal dunia, soal kehidupan, soal kita. Mereka hidup jauuuh lebih lama dari kita, dan membuat kita tetap hidup. Mereka belajar jaaauuuhh lebih dulu daripada kita semua, dan mengajari kita cara untuk belajar.

Mereka tahu dunia tidak selalu terang, tak selalu cerah, akan datang waktu malam, dan terkadang langit tertutup mendung.


Mereka tahu, bahwa dunia tak selalu lembut. Adakalanya ia keras. Tak seperti yang kita inginkan, tak seperti yang kita harapkan. Tak seperti yang kita duga. Bahkan sama sekali tak terduga. Sama sekali tak seperti yang kita harapkan, dan sama sekali tidak kita inginkan.


Mereka tahu itu, dan mereka tahu itu akan berlalu.


Mereka tahu esok paginya kita akan terbangun dan seolah-olah rasa takut, kecewa, dan kesedihan itu hilang. Puffttt…. Hilang, dan menguap, begitu saja. Dan kita masih, baik-baik saja.


Mereka, bisa saja mengajak kita dan tidak meninggalkan kita sendirian di rumah dengan resiko kita akan berbuat hal buruk saat mereka sedang menjani urusan yang penting –karena umur kita yang belum mencukupi- atau dengan resiko kita sakit karena terkena angina malam, atau kelelahan dan esok paginya tak dapat bersekolah.

Mereka mengajari kita bersabar lebih dari batasan kita di usia kita saat itu dengan kita harus menunggu lebih lama, sangat lama –meskipun kita semua tau, mereka pasti punya alas an yang sangat kuat, mungkin sangat penting, sehingga mereka tidak bisa datang tepat waktu.

Mereka mengajari kita mengikhlaskan, menerima, dan menghadapi kenyataan, kenyataan bahwa apa yang kita miliki bukanlah milik kita sendiri. Dari senyum ibu, ia berkata "nak ayahmu tidak pergi kemanapun, dia hanya berpindah milik, syurga sudah lama ingin bertemu dengan beliau"  


Mereka mengajari kita untuk tidak takut, untuk menjadi pemberani, untuk menjadi penyabar, untuk mengikhlaskan dan untuk menjadi manusia yang selalu bisa “baik-baik saja”


Itulah mereka, mengajari kita tanpa mengajari. Itulah mereka, yang mengajari kita secara tidak langsung. Bahkan mungkin, tanpa mereka sadari. Karena ada Tuhan pada diri mereka, Tuhan mengajarkan kita hidup melalui mereka sebagai perantara, orang tua kita.


Untuk orang tuaku tercinta.
Ibu. Ibu. Ibu. Dan Ayah.
Aku selalu menyayangi kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar